Rabu, 15 April 2009

Implementasi Pendidikan Seni Rupa di TK

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN SENI RUPA DI TAMAN KANAK KANAK KHUSUSNYA DALAM KEGIATAN MENGGAMBAR BEBAS

PENDAHULUAN
Tulisan ini mencoba membahas tentang implementasi pendidikan seni rupa di Taman Kanak-kanak, khususnya kajian tentang menggambar bebas. Banyak dijumpai bahwa pelaksanaan proses belajar mengajar seni rupa di Taman Kanak-kanak diampu oleh guru kelas, dengan asumsi tidak semua guru memiliki kompetensi seni rupa secara memadai.
Sementara perkembangan dewasa ini, masyarakat telah merasakan akan pentingnya suatu pendidikan Taman Kanak-kanak dalam membantu perkembangan seluruh aspek kepribadian anak. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa anak-anak yang mendapat pendidikan Taman Kanak-kanak jauh lebih mudah menerima pendidikan lanjutan bila dibandingkan dengan anak-anak yang tidak mengikuti pendidikan Taman Kanak-kanak. Ini berarti bahwa pendidikan Taman Kanak-kanak sangat penting dan perlu diselenggarakan dengan sebaik-baiknya sesuai tujuan pendidikan nasional.
Arti Pendidikan sendiri dijelaskan dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I Ketentuan Umum pasal 1 ayat (1), bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Mengenai Pendidikan anak usia dini disebutkan pada pasal 1 ayat 14, pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan ruhani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.
Selanjutnya secara khusus disebutkan pada Bagian Ketujuh Pendidikan Anak Usia Dini Pasal 28, sebagai berikut: (1) Pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar; (2) Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan / atau informal; (3) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal berbentuk taman kanak-kanak (TK), raudatul athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat; (4) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan nonformal berbentuk kelompok bermain (KB), taman penitipan anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat; (5) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan; (6) Ketentuan mengenai pendidikan anak usia dini sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Bila menengok kembali maksud dari pendidikan anak usia dini (pendidikan prasekolah) sesuai yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah RI No. 27 Tahun 1990 (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993) tentang Pendidikan Prasekolah Bab I pasal 1 ayat (1) dan (2), sebagai berikut: (1) adalah pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan ruhani anak didik di luar lingkungan keluarga sebelum memasuki pendidikan dasar yang diselenggarakan di jalur pendidikan sekolah atau di jalur pendidikan luar sekolah, dan (2) disebutkan bahwa Taman Kanak-kanak adalah salah satu bentuk pendidikan prasekolah yang menyediakan program pendidikan dini bagi anak usia 4 tahun sampai memasuki pendidikan dasar.
Secara umum, sasaran dari tujuan kompetensi pendidikan taman kanak-kanak sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1990 tentang Pendidikan Prasekolah. Disebutkan bahwa tujuan pendidikan Taman Kanak-kanak adalah membantu meletakkan dasar ke arah perkembangan sikap, pengetahuan, keterampilan, dan daya cipta yang diperlukan oleh anak didik dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan untuk pertumbuhan serta perkembangan selanjutnya. Secara garis besar disebutkan dalam Garis-Garis Besar Program Kegiatan Belajar (GBPKB) Kurikulum 1994 (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1994), program kegiatan belajar dalam pendidikan Taman Kanak-kanak dibagi dalam dua kegiatan utama, yaitu: (1) Progam kegiatan belajar dalam rangka pembentukan perilaku melalui pembiasaan (program pembentukan perilaku), meliputi: moral pancasila, agama, perasaan / emosi, kemampuan bermasyarakat, dan disiplin. Tujuan dari program pembentukan perilaku adalah untuk mempersiapkan anak sedini mungkin untuk mengembangkan sikap dan perilaku yang didasari oleh nilai-nilai moral pancasila dan agama; (2) Program kegiatan belajar dalam rangka pengembangan kemampuan dasar (program pengembangan kemampuan dasar), yaitu kegiatan yang dipersiapkan oleh guru untuk mencapai kemampuan-kemampuan tertentu sesuai dengan tahap perkembangan anak. Program pengembangan kemampuan dasar tersebut meliputi: (1) Daya cipta, kegiatan yang bertujuan untuk membuat anak kreatif yaitu lancar, fleksibel, dan orisinil dalam bertutur kata, berpikir serta berolah tangan dan berolah tubuh sebagai latihan motorik halus dan motorik kasar; (2) Bahasa, bertujuan agar anak didik mampu berkomunikasi secara lisan dengan lingkungan; (3) Daya pikir yang bertujuan agar anak didik mampu menghubungkan pengetahuan yang sudah diketahui dengan pengetahuan baru yang diperolehnya; (4) Keterampilan yang bertujuan untuk mengembangkan keterampilan motorik halus anak didik dalam berolah tangan; dan (5) Jasmani yang bertujuan untuk mengembangkan keterampilan motorik kasar anak didik dalam berolah tubuh untuk pertumbuhan dan kesehatannya. Implementasi pengembangan daya cipta sebagai kegiatan yang bertujuan untuk membuat anak kreatif berintegrasi dalam kegiatan lain (bahasa, daya pikir, keterampilan, dan jasmani) yang dikembangkan dalam kemampuan dasar pada peserta didik.
Sejalan dengan perkembangan pendidikan dan guna mewujudkan pembangunan nasional di bidang Pendidikan, maka diperlukan peningkatan dan penyempurnaan penyelenggaraan pendidikan nasional yang disesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kesenian, perkembangan masyarakat dan kebutuhan pembangunan. Karena itu, Program Kegiatan Belajar Taman Kanak-kanak 1994 perlu disempurnakan dan diperbaiki. Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) adalah perbaikan dari kurikulum tersebut, yang di dalamnya mengandung lima pokok pengembangan program kegiatan, yaitu: pembiasaan, bahasa, kognitif, fisik / motorik, dan seni. Bidang seni memiliki kompetensi dasar, yaitu anak mampu mengekspresikan diri dan berkreasi dengan gagasan, imajinasi dan menggunakan berbagai media / bahan menjadi suatu karya seni.
Seyogyanya kegiatan pembelajaran dan penyelenggaraan taman kanak-kanak mengacu pada filosofi dan tujuan dasar yang telah ditetapkan di dalam undang-undang tersebut di atas. Di sini guru juga dituntut untuk mengetahui secara benar tentang perkembangan anak didik yang berkembang sesuai dengan usianya, yaitu masa kanak-kanak. Masa ini disebut juga sebagai usia mainan / bermain, usia kelompok, usia menjelajah, usia bertanya, usia meniru, usia kreatif, usia bermasalah. Perkembangan anak usia prasekolah (TK : usia 4-6 tahun) dilihat pada fase perkembangannya dalam fase perkembangan perilaku (Sigmund Frend) adalah termasuk dalam fase Falixs (usia 3-5 tahun) masa toilet training (keras kepala, timbul kemauan meniru, imitasi) dan fase Laten (usia 5-12 tahun) masa membatasi ego, menolong diri sendiri. Pada fase perkembangan kognitif (Piaget) adalah termasuk dalam fase pra operasional (usia 3-6 tahun) masa egosentris, tidak mau menerima pendapat orang lain. Selanjutnya menurut Victor Lowenfeld, perkembangan jasmani dan rohani anak usia Taman Kanak-kanak dalam seni rupa termasuk pada masa pra bagan (Pre Schematic Period).
Oleh karena itu, berdasarkan perkembangan anak usia prasekolah (Taman Kanak-kanak) di atas, memerlukan perhatian yang lebih cermat baik oleh guru di sekolah dan orang tua di rumah. Pentingnya pemahaman terhadap perkembangan anak di atas untuk menentukan langkah-langkah pembinaan yang baik dan tepat untuk menghindari pemaksaan terhadap keberadaan anak sesuai dengan usia perkembangannya. Melihat fase perkembangan anak tersebut di atas, maka guru Taman Kanak-kanak dituntut untuk mengerti dan memahami secara benar implementasi pendidikan seni rupa, khususnya dalam kegiatan menggambar bebas. Bagaimana memberikan dan membimbing dalam kegiatan menggambar bebas, baik tema dan metode pembelajaran yang harus digunakan (dipilih) oleh guru. Dengan memperhatikan hal ini diharapkan guru dapat menentukan langkah-langkah pembinaan yang baik dan tepat untuk menghindari pemaksaan terhadap keberadaan anak sesuai dengan usia perkembangannya.

Periodisasi Lowenfeld
Menurut Victor Lowenfeld dalam Santosa (dalam Sanggar Melati Suci, 1994) di dalam bukunya Creative and Mental Growth (1947) suatu telaah dan analisis perihal periodisasi yang terdapat dan menjadi ciri umum lukisan anak-anak sesuai waktu (usia) dan tahap perkembangan sosial intelektual mereka dalam seni rupa dibagi menjadi beberapa, yaitu (1) Masa coreng moreng (Scribbling Period), berlaku bagi anak berusia 2 sampai 4 tahun; (2) Masa prabagan (Pre Schematic Period), berlaku bagi anak berusia 4 sampai 7 tahun; (3) Masa bagan (Schematic Period), berlaku bagi anak berusia 7 sampai 9 tahun; (4) Masa awal realisme (Early Realism), berlaku bagi anak berusia 9 sampai 12 tahun, dan (5) Masa naturlistik semu (Pseudo Naturalistic), berlaku bagi anak berusia 12 sampai 14 tahun. Secara tegas Santosa menjelaskan, bahwa untuk tidak ditafsir secara mutlak kaku. Sebaliknya jangan pula ditanggapi dalam semangat meremehkan oleh adanya anggapan, itu toh telaah di Barat yang tentu tak cocok bagi si Polan atau si Denok. Harap diketahui, sampai saat ini belum ada satu pun buku telaah andal perihal seni rupa anak-anak ”mede in Indonesia” (Santosa dalam Sanggar Melati Suci, 1994:39). Secara ringkas di bawah ini disampaikan tentang periodisasi dari lukisan anak-anak usia taman kanak-kanak dengan harapan dapat mengingatkan dan menjadi acuan pendidik taman kanak-kanak terhadap pembinaan minat dan bakat anak dalam melukis tanpa melakukan pemaksaan yang akhirnya dapat mematikan kreativitas anak.
Periode Pra bagan (Pre Schematic Period), periode ini berlaku bagi anak berusia 4 sampai 7 tahun (taman kanak-kanak). Periode ini menjadi sangat penting karena dalam lingkup sosial yang lebih luas, anak mendapat kesempatan mencipta, menjelajah, bereksperimen, dan berbagai hal baru yang erat kaitannya dengan perkembangan jiwa, rasa maupun emosi mereka. Berbagai pengalaman berarti mereka temukan adanya interaksi dengan dunia baru, teman sekolah, guru, pelajaran, alat peraga, ataupun disiplin. Anak mulai menggambar bentuk-bentuk yang berhubungan dengan dunia sekitar mereka. Anak membangun ikatan emosional dengan apa yang digambar. Pada mulanya bentuk-bentuk masih sulit dikenal. Selanjutnya pada usia 5 tahun, gambar bersifat bagan makin dapat dikenali, gambar manusia, rumah atau pohon. Usia 6 tahun gambar manusia mendapat perhatian mereka, walau masih sangat sederhana. Sepanjang periode ini, perhatian dan gairah anak lebih tertuju pada hubungan antara gambar dengan objek daripada hubungan warna dengan objek. Warna menjadi subjektif karena tidak mempunyai hubungan tertentu dengan objek. Sedangkan konsep ruang anak pada periode pra bagan tak lain apa yang ada di sekitar dirinya. Menjadikan tiadanya hubungan logis objek satu dengan lainnya. Mengajarkan konsep orang dewasa mengenal ruang pada periode ini hanyalah menciptakan konflik pada diri anak yang menghancurkan kepercayaan anak akan kemampuaan kreatifnya.

Konsep Pendidikan Seni
Sejauhmana pendidikan seni penting diselenggarakan di sekolah, hal tersebut terkait dengan tiga konsep. Pertama, adanya tiga aspek yang saling terkait secara erat, yaitu: IPTEK, etika, dan seni. Kedua, terdapatnya potensi inheren dan kecerdasan serta aktualisasi potensi yang sifatnya semi otonom tidak semua kecerdasan kuat tapi bisa juga sendiri-sendiri, teori inteligensi ganda (Multiple Intelligences atau MI) Howard Gadner yang terdiri dari sembilan inteligensi (Suparno, 2004:17-50) yaitu: (1) inteligensi linguistik (linguistic intelligence) sebagai kemampuan untuk menggunakan dan mengolah kata-kata secara efektif baik secara oral maupun tertulis seperti yang dimiliki para pencipta puisi, editor, jurnalis, dramawan, sastrawan, pemain sandiwara maupun orator. Kemampuan ini terkait dengan penggunaan dan pengembangan bahasa secara umum; (2) inteligensi matematis-logis (logical-mathematical intelligence) adalah kemampuan yang lebih berkait dengan penggunaan bilangan dan logika secara efektif, seperti dipunyai seorang matematikus, sainis, programer, dan logikus. Termasuk pula kepekaan pada pola logika, abstraksi, kategorisasi, dan perhitungan; (3) inteligensi ruang (spatial intelligence) disebut juga inteligensi ruang-visual adalah kemampuan untuk menangkap dunia ruang visual secara tepat, seperti dipunyai para pemburu, arsitek, navigator, dan dekorator. Termasuk juga kemampuan untuk mengenal bentuk dan benda seara tepat, melakukan perubahan suatu benda dalam pikirannya dan mengenali perubahan itu, menggambarkan suatu hal/benda dalam pikiran dan mengubahnya dalam bentuk nyata, serta mengungkapkan data dalam suatu grafik. Juga kepekaan terhadap keseimbangan, relasi, warna, garis, bentuk, dan ruang. Orang yang kuat dalam intelegensi ruang-visual dapat dengan baik melakukan pekerjaan seperti menggambar, melukis, memahat, menghargai hasil seni, membuat peta dan membaca peta, menemukan jalan dalam lingkungan baru, mengerti dimensi tiga, bermain catur ataupun permainan yang membutuhkan kemampuan mengingat bentuk dan ruang; (4) inteligensi kinestetik-badani (bodily-kinesthetic intelligence) adalah kemampuan menggunakan tubuh atau gerak tubuh untuk mengekspresikan gagasan dan perasan, seperti ada pada aktor, atlet, penari, pemahat, dan ahli bedah. Termasuk pula keterampilan koordinasi dan fleksbilitas tubuh; (5) inteligensi musikal (musical intelligence) adalah kemampuan untuk mengembangkan, mengekspresikan, dan menikmati bentuk-bentuk musik dan suara. Termasuk didalamnya kepekaan ritme, melodi, dan intonasi, kemampuan memainkan alat musik, kemampuan menyanyi, kemampuan untuk mncipta lagu, kemampuan untuk menikmati lagu, musik, dan nyanyian; (6) inteligensi interpersonal (interpersonal intelligence) adalah kemampuan untuk mengerti dan menjadi peka terhadap perasaan, intensi, motivasi, watak, temperamen orang lain; (7) inteligensi Intrapersonal (intrapersonal intelligence) adalah kemampuan yang berkaitan dengan pengetahuan akan diri sendiri dan kemampuan untuk bertindak secara adaptatif berdasar pengenalan diri itu. Termasuk kemampuan berefleksi dan keseimbangan diri. Orang ini punya kesadaran tinggi akan gagasan-gagasannya, dan mempunyai kemampuan untuk mengambil keputusan pribadi. Ia sadar akan tujuan hidupnya. Ia dapat mengatur perasaan dan emosinya sehingga kelihatan sangat tenang; (8) inteligensi lingkungan / naturalis (naruralist intelligence) sebagai kemampuan seseoraang untuk dapat mengerti flora dan fauna dengan baik, dapat membuat distingsi konsekuensial lain dalam alam natural, kemampuan untuk memahami dan menikmati alam, dan menggunakan kemampuan itu secara produkrif dalam berburu, bertani, dan mengembangkan pengetahuan akan alam; dan (9) inteligensi eksitensial (existensial intelligence) menyangkut kepekaan dan kemampuan seseorang untuk menjawab persoalan-persoalan terdalam eksistensi atau keberadaan manusia. Orang tidak puas hanya menerima keadaannya, keberadaannya secara otomatis, tetapi mencoba menyadarinya dan mencari jawaban yang terdalam. Ketiga, Cara berpikir, dimana dalam diri manusia terdapat otak kanan (imajinasi, seni, keinginan, cita-cita dan sebagainya) dan otak kiri (berpikir, logika, matematika, dan lain-lain) yang masing-masing memiliki keistimewaan dan keduanya harus diperlakukan dengan sama serta seimbang dalam pertumbuhan dan perkembangannya.
Konsep pendidikan seni dapat dibagi menjadi tiga orientasi (Salam, 2005). Pertama, Pendidikan seni berorientasi kepada anak didik. Untuk memenuhi kebutuhan mendasar bagi anak untuk mengaktualisasikan dirinya. Anak / peserta didik sebagai faktor utama, seni hanya dipakai sebagai alat. Sehubungan dengan hal tersebut, maka ada dua konsep pendidikan seni, yaitu: (1) Education in Art, bagaimana membelajarkan keterampilan dan sikap seni; dan (2) Education Through Art, bagaimana menggunakan seni sebagai landasan pendidikan, seni hanya sarana (jembatan) dalam pembelajaran. Di sini Guru memegang peranan penting memperhatikan bakat / minat siswa. Pendidikan seni berorientasi pada anak menghasilkan konsep pendidikan seni berbasis anak / peserta didik, dengan prinsip-prinsip: berikan kebebasan berekspresi pada anak dan empat pilar pendidikan yaitu learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to life to getter. Kedua, pendidikan seni yang berorientasi pada disiplin ilmu (isi pelajaran bidang seni). Tujuan utama mengarahkan peserta didik untuk mempelajari bidang seni secara intensif karena pendidikan seni dinilai memiliki nilai intriksik dan manfaat dalam kehidupan manusia. Pendidikan seni berorientasi pada disiplin ilmu (isi pelajaran bidang seni) menghasilkan konsep pendidikan seni berbasis disiplin. Ketiga, pendidikan seni berorientasi pada kebutuhan masyarakat. Tujuan utama adalah memenuhi kebutuhan masyarakat akan seni sesuai tuntutan masyarakat masyarakat dewasa ini, salah satunya untuk mempromosikan gagasan multikultur. Maka pendidikan seni berorientasi pada kebutuhan masyarakat menghasilkan konsep pendidikan seni multikultural.
Pendidikan seni merupakan pembinaan yang terdiri atas dua konsep, yaitu pembinaan seni untuk penguasaan keterampilan berkesenian dan pembinaan bagaimana seni untuk penguasaan pengetahuan. Selanjutnya perlu dipahami bahwa pendidikan seni memiliki keunikan dibanding dengan bidang (mata pelajaran) lain. Di dalam pendidikan seni mengandung tiga hal, yaitu: ekspresi, estetis, dan kreasi yang memunculkan pengalaman ekspresi, pengalaman estetis, pengalaman kreasi, dan pengalaman respons. Pengalaman estetis merupakan pengalaman yang khusus / spesial akibat adanya kontak dengan keindahan dengan sepenuh hati. Pengungkapannya dipengaruhi oleh faktor nilai cita rasa, tingkat pengetahuan dan harus dalam konteks budaya. Mengembangkan potensi pengalaman estetis dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu: (1) Performans (pelakonan / melakukan), menampilkan apa yang sudah dilakukan orang lain (melewati lagi apa yang sudah dilakukan orang lain). Hal ini dapat dilakukan dengan dua tahapan yaitu rekreasi dan aktualisasi; (2) Berkreasi, menciptakan sesuatu yang baru (disekolah umum tidak harus yang benar-benar baru) melalui pengungkapan ide / gagasan dan aktualisasi diri; dan (3) Respons merupakan tanggapan yang terkait dengan aspek apresiasi melalui melihat / menonton, menikmati, menghayati, dan menilai.

Pendidikan Seni Berbasis Anak
Pendidikan seni berorientasi pada anak menghasilkan konsep pendidikan seni berbasis anak/peserta didik. Pendidikan seni berbasis anak diberikan pada anak usia PAUD sampai dengan SD kelas 3 dengan prinsip: 1) berikan kebebasan berekspresi pada anak dan (2) Empat pilar pendidikan: learning to know, learning to do, learning to be dan learning to life to getter. Mengingat kisaran usia anak / peserta didik tersebut dan usia anak TK termasuk di dalamnya, maka pendidikan seni yang diberikan pada taman kanak-kanak hendaknya mengacau pada pendekatan ekspresi bebas, berikan kebebasan berekspresi pada anak. Sesuai apa yang diungkapkan oleh Franz Cizek (”Bapak” pendekatan ekspresi bebas) dalam Salam (2005) bahwa ”seni rupa anak adalah seni rupa yang hanya bisa diciptakan oleh anak dan gambar anak haruslah diberi kebebasan untuk tumbuh bagaikan kembang bebas dari gangguan orang dewasa”. Tugas guru adalah memberikan pengalaman kepada anak yang dapat merangsang munculnya ekspresi pribadi sang anak. Cara yang ditempuh guru antara lain dengan memberikan beragam pengalaman atau membantu anak untuk mengingat pengalaman pribadinya yang tersembunyi.
Pendapat Franz Cizek tersebut dikembangkan dan dipopulerkan oleh dua tokoh pendidikan seni rupa, yakni Herbert Read (Education Through Art) dan Viktor Lownfeld (The Natural of Creative Activity dan Creative and Mental Growth). Herbert Read dalam Salam (2005) terkenal dengan gagasannya education through art yang menekankan bahwa naluri berolah seni rupa anak adalah sesuatu yang universal, sesuatu yang tumbuh secara alamiah pada diri anak dalam mengkomunikasikan dirinya. Orang dewasa tidak seyogyanya mengintervensi hal tersebut dengan berbagai dalih demi adat istiadat, persaingan kerja, pembentukan karakter atau pendisiplinan jiwa. Menurut Herbert Read, semua itu akan secara nyata menggusur minat alamiah anak yang akan berarti merusak kebahagian dan kesenangan anak dalam menikmati kebebasan. Artinya, bahwa ekspresi diri tidak bisa diajarkan dan peranan guru hanyalah sebagai fasilitator.
Victor Lowenfeld dalam Salam (2005) sangat dipengaruhi oleh pandangan Frued yang menempatkan seni rupa sebagai wujud ekspresi dari dorongan alam bawah sadar. Seni rupa berdasarkan pandangan ini dianggap sebagai indikator kesehatan jiwa dan ekspresi seni rupa merupakan terapi pembersihan jiwa. Bagi Lowenfeld, ekspresi seni rupa yang dilaksanakan secara alamiah berdampak positif bagi perkembangan intelektual, emosional, kreativitas dan perkembangan sosial anak. Pendidikan seni rupa menurut Lowenfeld seyogyanya menjadi ajang pemberian pengalaman yang menarik yang menyadarkan anak akan lingkungannya. Pendidikan seni rupa hendaknya memperhatikan proses pembelajaran yang terjadi pada diri anak. Pendidik harus mengamati apa yang terjadi pada anak saat ia sedang bergelut dengan media seni rupa. Anak adalah yang utama sedang seni rupa sendiri hanyalah suatu alat. Lowenfeld juga memandang lomba seni rupa selayaknya tidak dilakukan. Dilontarkan gagasan yang menghubungkan antara seni rupa dengan kesehatan mental ini timbul karena disadari bahwa melalui kegiatan berolah seni rupa, seseorang dapat menyalurkan perasaan, keprihatinan, dan kecemasannya melalui media seni rupa yang mungkin tidak dapat tersalurkan melalui media yang lain. Lowenfeld mengatakan bahwa anak yang mengalami frustasi pada mata pelajaran lain seperti membaca, mengarang atau berhitung dapat mengaluhkan kegiatannya pada seni rupa untuk melepaskan frustasinya itu oleh karena pada seni rupa tidak dikenal jawaban yang benar atau salah.
Pendekatan eskpresi bebas diimplementasi dalam pendidikan seni rupa dengan dua pendekatan, yaitu pendekatan ekspresi bebas secara murni dan pendekatan ekspresi bebas bersifat terarah (Salam, 2005). Pendekatan ekspresi bebas secara murni diimplementasikan dalam pendidikan seni yang dalam merancang kegiatan pembelajarannya menggunakan model emerging curriculum, yakni kegiatan pembelajaran yang tidak dirancang sebelumnya tetapi berkembang sesuai keinginan anak. Dengan cara guru bertanya kepada anak kegiatan apa yang ingin dilakukannya dan selanjutnya guru menyiapkan segala sesuatu untuk memberi kemudahan bagi anak dalam melakukan kegiatannya itu. Bila karena sesuatu hal tiba-tiba anak berubah pikiran, maka guru pun harus segera menyesuaikan diri dengan keinginan sang anak. Implentasi pendekatan ekspresi bebas secara murni ini cocok dilakukan di sanggar seni yang bersifat non-formal.
Sementara untuk sekolah formal yang memiliki kurikulum dan jadwal yang ketat, maka pendekatan eskpresi bebas bersifat terarah dikembangkan dalam implementasi pendidikan seni rupa. Guru melaksanakan kegiatan pembelajaran sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan tetapi dengan strategi tertentu sehingga anak tetap dapat mengekspresikan dirinya sesuai dengan apa yang diharapkan. Strategi tersebut dapat berupa kegiatan ”pemanasan” (pemberian motivasi) untuk merangsang dan memberikan motif berekspresi kepada anak. Pemberian motivasi tersebut dapat dilaksanakan dengan beberapa cara. Pertama, bercerita atau berdialog dengan anak untuk membangkitkan perhatian dan rangsangan lahirnya motif yang dapat dijadikan dasar dalam berkarya. Tema ceritera atau dialog tentu saja yang menyentuh kehidupan anak. Cerita atau dialog akan menjadi menarik bila guru memperlihatkan foto, gambar atau film. Kedua, memberikan anak pengalaman kontak langsung dengan alam secara sadar, misalnya dengan mengajak anak untuk mencermati keadaan sekelilingnya yang mungkin selama ini diabaikan seperti detail bunga-bunga yang tumbuh di sekeliling sekolah, kawat listrik dan telepon yang simpang siur, pejalan kaki serta kendaraan yang lalu lalang. Untuk mengarahkan perhatian anak guru dapat mengajukan pertanyaan, seperti: ”warna bunga melati yang tumbuh di halaman sekolah dan berapa jumlah bunga yang sudah merekah, bagaimana sikap pejalan kaki yang menyeberang jalan, berapa meter tinggi tiang listrik”, dan sebagainya. Ketiga, mendemontrasikan proses penciptaan karya seni rupa yang akan diajarkan. Pemberian motivsi kepada anak dengan bercerita atau berdialog dapat dilaksanakan dalam waktu yang singkat kurang lebih 5-15 menit. Namun pembangkitan motivasi dalam bentuk kontak langsung dengan alam memerlukan waktu yang relatif lama dan dapat diragkai dengan kegiatan lain (kegiatan jalan-jalan atau darmawisata) sehingga tidak perlu mengambil waktu yang tersedia untuk praktik di kelas. Pada saat menjelang praktik di kelas guru tinggal memancing ingatan anak tentang apa yang telah diamatinya untuk membangkitkan motivasinya. Setelah anak termotivasi, maka anak pun diminta untuk mengekspresikan dirinya secara bebas. Peran guru pada saat berlangsungnya ekspresi tersebut adalah mendampingi anak untuk memberikan bantuan dan pujian yang diperlukan. Dalam kaitannya dengan penilaian karya anak tentu saja guru harus kembali pada filosofi pendekatan ekspresi bebas, yaitu ekspresi anak bersifat unik dan alamiah serta tidak ada istilah benar atau salah dalam mengekspresikan dirinya melalui seni rupa. Penilaian yang diberikan bersifat apresiatif, yakni bersifat menerima dan menghargai apa yang diungkapkan atau diciptakan oleh anak dengan menunjukkan kemungkinan peningkatan kualitas dari karya yang diciptakannya tersebut.

Sasaran Tujuan Kompetensi
Program Kegiatan Belajar Taman Kanak-kanak 1994 telah disempurnakan dan diperbaiki. Kurikulum 2004 Standar Kompetensi (Departemen Pendidikan Nasional, 2005:20) adalah perbaikan dari kurikulum tersebut, yang di dalamnya mengandung lima pokok pengembangan program kegiatan, yaitu: pembiasaan, bahasa, kognitif, fisik / motorik, dan seni. Bidang seni memiliki kompetensi dasar, yaitu anak mampu mengekspresikan diri dan berkreasi dengan gagasan, imajinasi dan menggunakan berbagai media / bahan menjadi suatu karya seni. Hasil belajar yang diharapkan dalam bidang seni dapat dikemukakan sebagai berikut. Pertama, anak dapat menggambar sederhana dengan indikator, seperti: menggambar bebas dengan berbagai media (kapur tulis, krayon, pensil berwarna, arang, dan bahan-bahan alam) dengan rapi; menggambar bebas dari bentuk dasar titik, lingkaran, segi tiga, dan segi empat; menggambar orang dengan lengkap dan proposional; dan mencetak dengan berbagai media (jari / finger painting, kuas, pelepah pisang, daun, bulu ayam) dengan lebih rapi. Kedua, anak dapat mewarnai sederhana dengan indikator mewarnai bentuk gambar sederhana dengan rapi. Ketiga, anak dapat menciptakan sesuatu dengan berbagai media dengan indikator, seperti: meronce dengan manik-manik sesuai pola (dua pola); meronce dengan berbagai media, misal: bagian tanaman, bahan bekas, karton, kain perca; menciptakan tiga bentuk bangunan dari balok; menciptakan tiga bentuk dari kepingan geometri; menciptakan bentuk dari lidi; menganyam dengan berbagai media, misalkan: kain perca, daun, sedotan, kertas; membatik dan jumputan; membuat gambar dengan teknik kolase dengan memakai berbagai media (kertas, ampas kelapa, biji-bijian, kain perca, batu-batuan); membuat gambar dengan menggunakan teknik mozaik dengan memakai berbagai bentuk/bahan (segi empat, segi tiga, lingkaran); membuat mainan daengan teknik menggunting, melipat dan menempel; mencocok dengan pola buatan guru atau ciptaan anak sendiri; permainan warna dengan berbagai media, misal: krayon, cat air; melukis dengan jari (finger painting); melukis dengan berbagai media (kuas, bulu ayam, daun-daunan); membuat berbagai bentuk dengan kertas, daun-daunan; menciptakan alat perkusi sederhana dan mengekspresikan dalam bunyi yang berirama; dan bertepuk tangan membentuk irama. Keempat, anak dapat mengekspresikan diri dalam bentuk gerakan sederhana dengan indikator, seperti: mengekspresikan berbagai gerakan kepala, tangan atau kaki sesuai dengan irama musik / ritmik dengan lentur; bergerak bebas dengan irama musik; menari menurut musik yang didengar; dan mengekspresikan diri dalam gerak bervariasi dengan lentur dan lincah. Kelima, anak dapat menyanyi dan memainkan alat musik sederhana dengan indikator, seperti: menyanyi lebih dari 20 lagu anak-anak dan menyanyi lagu anak sambil bermain musik. Keenam, anak dapat menampilkan sajak sederhana dengan gaya dengan indikator, seperti: mengucapkan sajak dengan ekspresi yang bervariasi, misalnya perubahan intonasi, perubahan gerak dan penghayatan; dan membuat sajak sererhana. Ketujuh, anak dapat mengekspresikan gerakan berdasarkan cerita dan lagu dengan indikator mengucapkan syair lagu sambil diiringi senandung lagunya. Kedelapan, anak dapat melakukan gerakan pantomin dengan indikator, seperti: mengkomunikasikan gagasan melalui gerak tubuh dan menceritakan gerak pantomim ke dalam bahasa lisan.
Dalam pelaksanaannya kemampuan yang diharapkan dicapai dapat dilakukan secara bertahap dan berulang sesuai dengan kemampuan anak. Kemampuan-kemampuan tersebut dapat dilihat keberhasilannya pada akhir tahun ajaran. Program kegiatan belajar tersebut dicapai melalui pilihan-pilihan tema yang sesuai dengan lingkungan anak dan kegiatan-kegiatan lain yang menunjang kemampuan yang hendak dikembangkan. Maksud diberikannya tema adalah agar kegiatan yang dibuat oleh guru dapat lebih berarti, menarik dan dapat memperkaya pengalaman dan perbendaharaan kata anak.
Sementara itu tema kegiatan yang digunakan dalam kurikulum berbasis kompetensi terdiri atas sebelas tema, yaitu: (1) tema diri sendiri; (2) tema lingkunganku; (3) tema kebutuhanku; (4) tema binatang; (5) tema tanaman; (6) tema rekreasi; (7) tema pekerjaan; (8) tema air, udara, api; (9) tema alat komunikasi; (10) tema tanah airku; dan (11) tema alam semesta.

Metode Bermain Anak Taman Kanak kanak
Metode / strategi pemberian pembelajaran di TK mengacu pada prinsip ” bermain sambil belajar” atau ”belajar sambil bermain”. Hal ini disebabkan bermain merupakan tuntutan dan kebutuhan yang esensial bagi anak TK. Melalui bermain anak akan dapat memuaskan tuntutan dan kebutuhan perkembangan dimensi motorik, kognitif, kreativitas, bahasa, emosi, sosial, nilai dan sikap hidup. Dengan bermain anak akan memperoleh kesempatan memilih kegiatan yang disukainya, bereksperimen dengan bermacam bahan dan alat, berimajinasi, memecahkan masalah dan bercakap-cakap secara bebas, berperan dalam kelompok, bekerja sama dalam kelompok, dan memperoleh pengalaman yang menyenangkan.
Fungsi bermain dapat meningkatkan perkembangan kognitif dan sosial, bahasa, disiplin, moral, kreativitas dan perkembangan fisik anak. Terdapat dua penggolongan kegiatan bermain sesuai dengan anak usia TK, yaitu: (1) Penggolongan kegiatan bermain sesuai dengan dimensi perkembangan sosial anak, terdapat empat bentuk, yaitu: bermain secara soliter, bermain secara paralel, bermain asosiatif, dan bermain secara kooperatif; dan (2) Penggolongan kegiatan bermain berdasarkan pada kegemaran anak, yaitu: bermain bebas dan spontan, bermain pura-pura, bermain cara membangun atau menyusun, dan bertanding atau berolah tangan (Gordon & Browne dalam Moeslichatoen, 2004:37-40). Kegiatan bermain dengan cara membangun atau menyusun akan mengembangkan kreativitas anak. Anak akan menggunakan imajinasinya membentuk sesuatu bangunan mengikuti daya khayalnya dan kemampuan masing-masing anak sangat bervariasi. Kegiatan menggambar bebas dapat dikelompokkan dalam kegiatan bermain dengan cara membangun atau menyusun, misalnya dengan pensil berwarna (krayon) dan kertas gambar untuk membangun rumah, kereta api, jembatan, tumbuh-tumbuhan atau hewan secara grafis. Anak menarik garis lengkung atau lurus dengan bermacam pola yang diinginkan yang merupakan bangunan grafis dua dimensi (Moeslichatoen, 2004: 40).
Penyaluran kreativitas anak salah satunya dengan menggambar untuk menyalurkan perasaan dan bukan untuk menciptakan keindahan. Proses menciptakan gambar-gambar (bentuk-bentuk atau pola-pola) yang diinginkan inilah yang terpenting bukan pada hasil akhir. Menggambar merupakan ekspresi segala sesuatu yang muncul dalam kesadaran anak pada saat itu. Gambar yang diekspresikan bersifat simbolik. Anak menggambar sesuatu yang ada dalam ingatannya dan tidak memperhatikan proporsi, perspektif maupun hubungan. Biasanya gambar yang dihasilkan tidak cermat dan tidak lengkap, cenderung mengikuti pola stereotip, dan bersifat transparan. Anak akan menggambar benda-benda yang sudah dikenal (rumah, binatang, pohon, orang dan lain-lain). Dalam menggambar anak menyukai warna-warna, tetapi seringkali penggunaannya kurang tepat. Tingkat perkembangan intelektual anak berpengaruh pada kualitas gambar yang dibuatnya.

Teknik Evaluasi Karya
Dalam kaitannya dengan penilaian karya anak tentu saja guru harus kembali pada filosofi pendekatan ekspresi bebas, yaitu ekspresi anak bersifat unik dan alamiah serta tidak ada istilah benar atau salah dalam mengekspresikan dirinya melalui seni rupa. Penilaian yang diberikan bersifat apresiatif, yakni bersifat menerima dan menghargai apa yang diungkapkan atau diciptakan oleh anak dengan menunjukkan kemungkinan peningkatan kualitas dari karya yang diciptakannya tersebut.
Memberikan evaluasi atau menilai karya seni rupa (menggambar bebas) pada anak tidak hanya berdasarkan hasil karya anak saja, melainkan penilaian kegiatan berkarya seni tersebut dapat dilakukan dalam dua penilaian, yaitu penilaian pada proses kerja dan penilain hasil akhir. Penilaian proses kerja meliputi kesungguhan atau usaha yang dilakukan, kelancaran membuat rancangan, kelancaran menggunakan alat dan bahan, dan kesesuaian langkah-langkah pembuatan karya. Penilaian hasil akhir meliputi kreativitas, originalitas (kemurnian), komposisi, dan penguasaan teknik berkarya. Penilaian pada hasil karya saja tidak cukup karena bisa berdampak negatif pada anak-anak. Gabungan kedua jenis penilaian akan cenderung berdampak positif. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari kecenderungan guru (pendidik) dalam pemberian nilai baik hanya pada anak-anak yang berbakat saja. Namun ada pula anak yang berbakat tetapi kurang dalam berusaha sehingga hasil gambarnya tidak memuaskan atau sebaliknya ada anak yang tidak berbakat yang berusaha dengan sungguh-sungguh dan hasil gambarnya memuaskan.
Pemberi nilai pada hasil karya anak bukan saja dihubungkan antara ketetapan gambar dengan objek. Sesungguhnya pemberian nilai sebuah karya anak tidak ada pengertian gambar yang dihasilkan benar atau salah. Penilaian kegiatan menggambar lebih ditekankan pada kesungguhan, kedisiplinan, keberanian, dan kemurnian (originalitas) gambar yang dihasilkan oleh anak. Pemberian nilai yang salah atau nilai yang cenderung rendah pada hasil gambar anak, berdampak anak akan cenderung frustasi dan tidak senang pada kegiatan menggambar. Karena penilaian hasil karya sekaligus berfungsi memotivasi anak untuk senang dengan kegiatan menggambar.
Rambu-rambu dalam memberi nilai atau mengevaluasi karya seni rupa (menggambar bebas) pada anak dilihat dari beberapa aspek, seperti: (1) originalitas atau kemurnian hasil karya seni, (2) kreativitas, (3) penguasaan teknik berkarya, dan (4) tema. Keoriginalitasan sebuah karya dapat dilihat berdasarkan tingkat usianya. Aspek kreativitas dapat dilihat sejauhmana bentuk-bentuk yang ditampilkan pada karya seperti komposisi warna, garis, bidang, dan lain-lain. Penguasaan teknik juga perlu mendapatkan perhatian dalam menilai sebuah karya. Dalam menggambar untuk memudahkan guru dalam memberikan nilai maka diperlukan suatu tema dalam memberikan tugas pada anak di sekolahan,
Pemberian nilai dalam kegiatan seni di TK lebih condong menggunakan penilaian narasi. Seperti anak sudah mampu mengambar bentuk orang secara sederhana, namun anak masih perlu bimbingan dalam mewarnai gambar dengan rapi. Dalam penilaian juga dapat digunakan penikaian dengan simbol ( √ ) bila anak masih dalam tahap kemampuan rata-rata, simbol ( • ) bila anak sudah mampu melaksanakan kegiatan yang diharapkan, dan simbol ( O ) bila anak belum mampu melaksanakan kegiatan yang diharapkan.

Penutup
Secara umum pelaksanaan pembelajaran di TK harus mengacu pada filosofi dan tujuan dasar yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Filosofi dan tujuan dasar inilah yang memanyungi segala bentuk kegiatan dan pembelajaran yang diselenggarakan di TK yang ada di Negara Indonesia. Secara khusus sasaran tujuan kompetensi disesuaikan dengan bidang yang dikembangkan di TK. Salah satunya bidang seni dengan kompetensi dasar, yaitu anak mampu mengekspresikan diri dan berkreasi dengan gagasan, imajinasi dan menggunakan berbagai media / bahan menjadi suatu karya seni, dengan beberapa hasil belajar dan indikator yang telah ditetapkan.
Materi pembelajaran diwujudkan dalam pilihan-pilihan tema yang sesuai dengan lingkungan anak dan kegiatan-kegiatan lain yang menunjang kemampuan yang hendak dikembangkan. Maksud diberikannya tema adalah agar kegiatan yang dibuat oleh guru dapat lebih berarti, menarik dan dapat memperkaya pengalaman serta perbendaharaan kata anak. Adapun strategi pembelajaran di TK mengacu pada prinsip ”bermain sambil belajar” atau ”belajar sambil bermain”. Secara khusus kegiatan seni harus mengacu pada konsep pendidikan seni yang berorintasi pada anak dengan pendekatan ekspresi bebas yang bersifat terarah dan menggunakan strategi tertentu. Strategi tersebut dapat berupa kegiatan ”pemanasan” (pemberian motivasi) untuk merangsang dan memberikan motif berekspresi kepada anak, yang sesuai dengan usia perkembangan anak TK.
Dalam kaitannya dengan penilaian karya anak tentu saja guru harus kembali pada filosofi pendekatan ekspresi bebas, yaitu ekspresi anak bersifat unik dan alamiah serta tidak ada istilah benar atau salah dalam mengekspresikan dirinya melalui seni rupa. Penilaian yang diberikan bersifat apresiatif, yakni bersifat menerima dan menghargai apa yang diungkapkan atau diciptakan oleh anak dengan menunjukkan kemungkinan peningkatan kualitas dari karya yang diciptakannya tersebut. Pemberian nilai dalam kegiatan seni di TK lebih condong menggunakan penilaian narasi. Seperti anak sudah mampu mengambar bentuk orang secara sederhana, namun anak masih perlu bimbingan dalam mewarnai gambar dengan rapi. Dalam penilaian juga digunakan penilaian dengan simbol ( √ ) bila anak masih dalam tahap kemampuan rata-rata, simbol ( • ) bila anak sudah mampu melaksanakan kegiatan yang diharapkan, dan simbol ( O ) bila anak belum mampu melaksanakan kegiatan yang diharapkan.

3 komentar: